Para guru honorer yang masih dan akan terus berkarya bagi bangsa ini. (Ilustrasi) |
Baca juga: Mengajar Seperti PNS, Gaji Guru Honorer Hanya Rp 200 Ribu
Namun, tak semua guru sudah meraih “kemuliaan” itu. Ada sebuah sisi lain dari profesi guru yang tetap tak sesuai dengan harapan, bahkan bisa dikatakan komedi kehidupan. Ya, sebuah sisi lain kehidupan guru yang disebut “guru honorer”. Sebuah kemuliaan yang tergerus oleh kenyataan. Kenyataan hidup, di mana mereka bekerja dengan tangung jawab yang sama mendidik anak bangsa, namun jawaban yang mereka dapatkan tak lebih dari seorang peminta-minta.
Menurut sejumlah laporan, pada tahun 2013 di Indonesia terdapat 2,9 juta orang guru, dan 900.000-nya ialah guru honorer. Artinya ada 900.000 orang yang mempunyai harapan mulia, tapi realitas menyampaikan hal yang berbeda. Sudah terlalu banyak kisah-kisah miris ihwal seorang guru honorer, mulai dari yang bekerja di pinggiran hingga pedalaman, atau yang bekerja belasan tahun dengan honor yang jauh dari harapan. Sepertinya jikalau semua kisah miris ihwal guru honorer dituangkan dalam goresan pena ini, maka goresan pena ini tak akan pernah selesai.
Perlu diingat juga, pemerintah telah menetapkan seorang guru setidaknya harus lulus pendidikan Strata 1 (S1). Mereka yang mempunyai harapan mulia itu, telah rela menunda segala asa yang lain selepas meninggalkan dingklik sekolah untuk duduk kembali di dingklik kuliah. Selama setidaknya 4 tahun, mereka telah bersungguh-sungguh berguru ihwal seluk-beluk pendidikan. Meski bayang-bayang kenyataan pahit belasan tahun menjadi guru honorer terus menghantui hari-hari mereka tanpa bisa terelakkan.
Pemerintah telah menetapkan alokasi dana APBN untuk sektor pendidikan harus mencapai 20%. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 disebutkan bahwa total anggaran pendidikan mencapai Rp 345,335 triliun, dan untuk donasi profesi guru mencapai lebih dari 43 triliun. Jumlah tersebut bahkan lebih besar daripada alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang hanya mecapai 23 triliun atau hampir dua kali lipatnya.
Menurut ekonomis penulis, daripada 43 triliun itu semuanya dijadikan donasi profesi (fungsional), alangkah lebih baik jikalau sebagiannya dialokasikan untuk memberi gaji layak bagi para honorer yang sudah bekerja bahkan hingga belasan tahun. Setidaknya berikanlah para “buruh negara” ini honor yang layak selayak para buruh di pabrik-pabrik yang gajinya mencapai Upah Minimum Regional (UMR). Meski kini para guru honorer juga memperoleh donasi fungsional, namun jumlah tersebut tentu masih jauh lebih sedikit jikalau dibandingkan dengan honor yang diterima oleh para Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pembaca yang mulia.
Semua kenyataan itu menciptakan kita patut bertanya, kehidupan guru honorer itu sebuah komedi atau tragedi???
Sepertinya kehidupan guru honorer itu bisa dikatakan sebuah komedi atau juga sebuah tragedi. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat.
Komedi, alasannya ialah jikalau kita melihat potret kehidupan seorang guru honorer, kita seperti sedang melihat sebuah parodi dalam kehidupan. Kenyataan lucu yang menimpa orang-orang yang berhati mulia.
Saking mulianya mereka bahkan tak tega mencari keadilan hingga turun ke jalan menyerupai yang para buruh lakukan. Bukan alasannya ialah mereka tak mau mendapat keadilan, namun mereka tak punya waktu untuk dibuang. Mereka lebih suka menghabiskan waktu mereka untuk terus berkarya demi anak bangsa.
Adakah yang lebih lucu daripada kehidupan para guru honorer di negeri ini? Di ketika mereka sebagai abdi negara harus patuh kepada Negara, mereka sama sekali tak mendapat penghargaan yang layak dari negara. Di ketika mereka mempunyai tanggung jawab yang sama, mereka tak mendapat keadilan dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang sudah jadi pegawai negeri.
Kepada siapa lagi mereka harus mengadu? Kepada siapa lagi keadilan itu sanggup dipinta?
Kita memang tak bisa seadil Tuhan Yang Maha Adil. Namun setidaknya kita sanggup berusaha berlaku adil sebagai seorang manusia, sebagai khalifah di bumi Tuhan Yang Maha Mulia. Adil bukan berarti segalanya harus sama rata, namun berikanlah hak mereka sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan. Berikanlah para jagoan tanpa tanda jasa ini sebuah kegembiraan atas pengabdian yang telah mereka lakukan.
Tragedi, bagi mereka yang menjalani kehidupan sebagai seorang guru honorer, pada hakikatnya kehidupan ini ialah sebuah tragedi. Mereka bekerja sepanjang waktu, mencurahkan semua tenaga, pikiran, hingga uang dari saku mereka sendiri demi menjalankan tanggung jawab sebagai seorang guru dengan penuh kesungguhan. Namun, penghargaan yang nyaris tak ada menciptakan mereka terseok-seok menjalani kehidupan.
Apalagi yang lebih menyedihkan daripada kehidupan seorang guru honorer di negeri ini?
Ketika tanggung jawab yang berat mereka pikul, ketika itu juga beban kehidupan menghimpit mereka. Banyak kisah miris ihwal kehidupan seorang guru honorer yang bisa menciptakan kita menangis jikalau kita memang mempunyai hati seorang manusia.
Salah satu kisah peristiwa kehidupan seorang guru honorer, menimpa seorang guru honorer di derah Depok, di tempat yang tak jauh dari Ibu Kota Negara ini ada seorang guru yang sudah 15 tahun bekerja namun gajinya sangat jauh dari kepantasan.
Adakah diantara pembaca yang bisa menebaknya?
75 ribu (tujuh puluh lima ribu). Ya, 75 ribu rupiah, bukan 750 ribu rupiah. Tanpa bermaksud merendahkan profesi yang lain, honor 75 ribu rupiah itu bahkan jauh lebih kecil daripada tukang memperbaiki ban bocor atau tukang memperbaiki ledeng. Padahal tanggung jawab mereka ialah memperbaiki kebocoran moral generasi bangsa, supaya bangsa ini bisa tetap bangun tegak di hadapan bangsa-bangsa yang lain.
Baca juga: Semua Guru Berhak Mendapat Gaji dan Tunjangan
Jika dibandingkan dengan honor para anggota dewan yang terhormat, honor guru honorer ini hanya 0,2 % dari para anggota legislatif yang mencapai 40 juta per-bulan. Tidak bisakah APBN itu diatur supaya para guru honorer ini terlepas dari peristiwa mengerikan ini? Tidak bisakah honor ribuan anggota dewan mulai dari tingkat sentra hingga ke tingkat provinsi dan kabupaten ini dipotong dan diberikan kepada para pendidik yang mulia ini? Bukankah tanpa jasa dan pengabdian para guru ini tak akan ada yang namanya para anggota dewan dan pejabat tinggi Negara yang lainnya?
Jawabannya tergantung dari hati kita masing-masing. Tergantung dari para pemangku kebijakan. Tergantung dari para pejabat yang memimpin negeri ini. Tergantung dari presiden yang mengemban amanah dari ratusan juta rakyat di negeri ini.
Seluruh rakyat di negeri ini, termasuk para guru honorer yang masih dan akan terus berkarya bagi bangsa ini tentu berharap pemimpin selanjutnya akan bisa membawa angin perubahan bagi bangsa ini. Membawa perubahan bagi komedi yang menggelikan, dan peristiwa menyakitkan dari kehidupan seorang guru honorer menjadi kehidupan yang penuh keadilan dan kemuliaan. Aamiin
*) Ditulis oleh RANI RINDU. Orang yang sederhana, suka membaca, media sosial, ingin menjadi seorang guru yang sukses dunia akhirat.
Advertisement