Info Terbaru 2022

Sekolah Dasar Dalam Tantangan Krisis Pendidikan

Sekolah Dasar Dalam Tantangan Krisis Pendidikan
Sekolah Dasar Dalam Tantangan Krisis Pendidikan
Sekolah Dasar dalam Tantangan Krisis Pendidikan SD dalam Tantangan Krisis Pendidikan

Sekolah sebagai salah satu tripusat pendidikan merupakan sarana yang sengaja diciptakan oleh insan untuk mengemban kiprah memanusiakan manusia. Sekolah ini terletak dan berada di dalam lingkungan masyarakat yang menghendaki keberadaanya. Semakin tinggi contoh pikiran masyarakat maka semakin sentral dan penting kiprah sekolah dalam masyarakat tersebut. Hal ini dikarenakan sekolah tersebut merupakan wadah penyiapan generasi muda di dalam masyarakat tersebut. Semakin mantap sekolahnya semakin mantap pula generasi mudanya.

Di tanah air, keberadaan sekolah kita hingga ketika ini masih menuai kritikan akan keberadaan, proses, maupun terhadap para guru dan tenaga kependidikan. Kulminasi dari kritikan terhadap dunia pendidikan terjadi alasannya adanya kesenjangan atau kekontradiktifan antara tingkat pendidikan seseorang dengan perilakunya dalam kehidupan nyata. Dalam bukunya yang bertajuk Filsafat Pendidikan, Profesor Suparlan Suhartono (guru besar di Universitas Negeri Makassar) secara tegas menyampaikan hal tersebut. Berikut kutipan singkatnya: “para politisi bukan lagi memperjuangkan aspirasi rakyat melainkan memperjuangkan aspirasi konglomerat. Para penegak aturan tidak berorientasi pada keadilan dan keberadaban tetapi justru kebiadaban. Penyelenggara pendidikan sudah tidak peduli lagi terhadap pengembangan bakat, tetapi lebih tertarik pada urusan pangkat. Para penyelenggara kesehatan tidak mendidik untuk hidup sehat tetapi justru sibuk dengan pemasaran obat”.

Baca juga: Kesenjangan Pendidikan di Indonesia

Sekiranya problema pendidikan (perbedaan kesenjangan antara tingkat pendidikan dengan sikap kehidupan) yang telah dibeberkan di atas ialah kenyataan. Tidak perlu kita meminta bukti, lembaran koruptor yang mulai terbuka perhalaman merupakan salah satu santapan tidak sedap dari dapur pendidikan yang dinikmati bangsa Indonesia ketika ini. Lalu muncul pertanyaan bagaimana seharunya pendidikan kita diselenggarakan?

Tulisan ini merupakan sebuah permenungan dan opini sederhana wacana pendidikan sekolah (sekolah dasar dan sekolah menengah) diselenggarakan semestinya.

Pendidikan Sekolah Dasar

Dalam sistem pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan dilalui melalui dua jalur yakni pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah menyerupai kursus-kursus luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui aktivitas mencar ilmu mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan, dimulai dari sekolah dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan sekolah diselanggarakan untuk memberi bekal dasar untuk hidup dalam masyarakat berupa pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar.

Tujuan Pendidikan dan Pentingnya Pemahaman Tujuan Pendidikan

Secara umum tujuan pendidikan dimuat dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sisdiknas Bab II Pasal 3, “pendidikan nasional berfungsi membuatkan kemampuan dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi penerima didik supaya menjadi insan yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab”.

Tujuan pendidikan nasional ini memang terasa aneh dibandingkan dengan tujuan institusional, tujuan kurikuller, dan tujuan pembelajaran yang lebih terang dan kongkrit. Namun perlu dicermati dan dipahami bahwa tujuan nasional ini bersifat menyerupai induk yang menurunkan tujuan-tujuan berikutnya. Artinya dalam hierarki tujuan pendidikan kesemuanya harus mengacu pada tujuan nasional pendidikan. Oleh alasannya itu sangat penting untuk mengetahui dan memahami tujuan nasional secara benar dan tepat. Hal ini dimaksudkan supaya proses pembelajaran atau penyelenggaraan pendidikan bertitik tolak dan bermuara pada tujuan nasional tersebut.

Jika kita mencermati, pada irit saya hampir seluruh isi tujuan nasional ini menuntut atau memuat point-point domain afektif sebagai hasil mencar ilmu yang utama. Ini yang masih kurang dipahami oleh para guru. Tidak heran bila sekolah-sekolah hanya bisa membuat ladang kognitif/pengatahuan yang gersang pada otak anak tanpa adanya penanaman nilai-nilai kehidupan. Alhasil berdampak jelek bagi kehidupan alasannya lahir orang-orang pandai tetapi tidak cerdas yang tak berbudi. Mata pelajaran agama contohnya yang bergotong-royong berupaya untuk menanamkan nilai-nilai moral kehidupan beralih pada penanaman pengatahuan agama. Pendidikan kewarganegaraan bukan menjalankan misi utamanya membudayakan nilai-nilai budaya lokal pancasila tetapi hanya sebatas pada penanaman pengatahuan kewarganegaraan. Coba saja tanyakan pada anak SD “apakah perbuatan mencuri itu baik atau buruk?” semuanya niscaya akan menjawab “buruk” tetapi tidak semua anak yang menyampaikan jelek itu dengan serta merta tidak mencuri. Terlalu praktis untuk mengetahui pengatahuan tetapi tidak praktis untuk menerapkanya.

Kesalahan Proses Pendidikan dan Upaya Perbaikanya

Pertama sekali yang mesti kita sepakati ialah para guru mempunyai kiprah utamanya yakni membelajarkan siswa (membuat siswa belajar) bukan sekedar memberi pelajaran, artinya membuat penerima didik mengalami proses pendidikan secara langsung. Hampir niscaya salah satu penyebab utama gagalnya sekolah menghasilkan anak didik yang berbudi (cerdas) ialah alasannya kesalahan dalam proses pendidikan (pembelajaran). Kebanyakan para guru di lapangan tidak melakukan kiprah utamanya secara tepat. Yang semestinya membuat siswa mencar ilmu malah sebaliknya gurunya yang sibuk belajar.

Hadirnya Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), PAKEM, PKP, Kurikullum KTSP dan yang gres kini kurikullum 2013 dan banyak sekali macam kecenderungan-kecenderungan mutakhir dalam bidang pendidikan yang menekankan pada keterlibatan siswa masih banyak yang salah diterjemahkan oleh para penyelenggara pendidikan. Banyak guru yang mengartikannya sebagai aktivitas diskusi kelompok, kerja kelompok dan kegiatan-kigiatan yang menekankan pada keaktifan siswa tanpa adanya keaktifan guru secara eksklusif di dalamnya. Inilah kekeliruan lainya dalam lingkungan pendidikan khususnya aktivitas pembelajaran. Semestinya disadari bahwa semakin tinggi keaktifan siswa menuntut tingginya keaktifan guru dalam mengaktifkan siswanya. Artinya anak didik tidak akan aktif secara baik bila gurunya tidak aktif, bukan hanya sekedar memperlihatkan tema diskusi kemudian gurunya tinggal diam, mengurusi urusan lain, baca koran, ngobrol dengan sesama guru, pergi belanja di pasar, pergi makan bakso, dan aktivitas lainya yang sama sekali tidak membantu pengembangan potensi anak didik.

Melalui keaktifan atau keterlibatan eksklusif dalam proses pembelajaran terbuka banyak sekali kesempatan untuk menghayati nilai-nilai yang perlu. Siswa sanggup mengalami kedisiplinan dalam perbuatan, berbicara, kemandirian, keyakinan, ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, penghargaan terhadap waktu, penghargaan terhadap kerja, kegairaan belajar, kedisiplinan, kesetiakawanan sosial, semangat kebangsaan, dan masih banyak yang lainya tergantung pada kompetensi guru yang membelajarkan siswa. Mari kita semua maju bersama dalam mencerdaskan anak bangsa dan semoga pendidikan kita bisa bangun dan jaya. (Bung Viktor)

*) Ditulis oleh Viktor Juru. Mahasiswa PGSD FIP UNM.
Advertisement

Iklan Sidebar