Guru terlebih dahulu harus menyayangi siswanya dengan memunculkan segala yang disuka siswa. |
Apa yang disukai siswa?
Dimana ada gula di situ ada semut. Demikian pepatah yang lazim untuk mengungkap kedekatan antara satu dengan yang lainnya. Apakah sesuai kalau dikatakan: dimana ada guru di situ ada siswa? Jika kalimat tersebut untuk menyatakan yang terlihat kasat mata, bahwa interaksi berguru mengajar terjadi dengan keberadaan guru dengan siswa, maka hal tersebut benar. Namun, kalau yang dibutuhkan menyerupai arti pepatah tadi, maka harus lebih diteliti lebih mendalam lagi. Semut akan mendekati dan mengerumuni gula alasannya yaitu mereka (semut) sangat suka mengonsumsi gula. Semut dengan rela dan tulus bahkan bahagia menyatu dengan gula. Semut akan merasa rugi kalau gula ada disekitarnya tapi mereka tidak mendekatinya. Semut akan selalu merindukan gula.
Seringkali proses pembelajaran yang berlangsung yang menampilkan interaksi antara guru dan siswa, diselimuti keterpaksaan. Masing-masing hanya menjalankan fungsinya, tanpa ada rasa saling membutuhkan. Sering, bukan rasa bahagia yang ada dengan pertemuan guru siswa tapi malah perasaan jenuh dan membosankan. Tentu, tujuan dari berlangsungnya proses pembelajaran tidak akan tercapai kalau kondisi tersebut senantiasa terjadi. Seperti halnya gula dengan rasa manisnya sehingga menarik semut untuk mengerumuninya, maka guru haruslah memahami apa yang disukai siswa sehingga siswa memunyai alasan untuk menyayangi gurunya.
Hubungan antara guru dengan siswa yaitu kekerabatan yang tidak sederajat. Artinya harus ada yang melaksanakan pengondisian sehingga kekerabatan serasi sanggup tercipta. Tentu dalam hal ini, guru merupakan factor penentu membuat hubungannya dengan siswa menjadi berhasilguna. Guru sejatinya mengondisikan dirinya sesuai apa yang dibutuhkan siswa ada pada gurunya. Sebagai guru, tentu telah memahami apa saja yang menjadi kesukaan siswa. Itulah yang harus dimunculkan dan biasakan ada pada dikala interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Hampir semua siswa akan menyukai gurunya yang terpelajar dan beretika. Humoris tentu tak kalah pentingnya harus dimiliki guru sebagai hal yang juga disukai siswa. Kepedulian dan kasih sayang akan membuat siswa “kelimpungan” kepada gurunya itu. Serius dan tegas juga sekali-kali disukai siswa ada pula pada kepribadian gurunya. Sepatutnya, kesemua yang disukai siswa tersebut ada pada diri guru dengan tanpa hal yang dibuat-buat tetapi merupakan kepribadian yang melekat. Tapi, kalau beberapa hal yang tak mungkin menjadi kepribadian guru, maka tentu saja sanggup “dipaksakan” untuk dimunculkan. Jika seorang guru yang serius, sering sulit untuk humoris. Pada titik inilah, “perjuangan” untuk dicinta oleh siswa harus “dikobarkan”.
Menggapai Cinta Siswa yang Sejati
Cinta yang dimaksud tentu bukan cinta dengan lawan jenis, tetapi kecintaan antara pendidik dengan penerima didik. Jika seorang guru telah memunculkan apa yang disukai oleh siswa, maka kecintaan yang dibutuhkan dari siswanya akan hadir. Guru akan bahagia tatkala siswa menunggunya dengan keceriaan dikala proses pembelajaran akan berlangsung. Guru akan bangga manakala siswa menantinya dan menanyakan alasan ketidakhadirannya. Guru akan optimis disaat kelas menjadi hidup dari keaktifan siswa mengikuti pembelajaran. Kesemua itu merupakan penjelmaan cinta siswa kepada gurunya.
Sangat disayangkan kalau ada guru yang justru tak ingin dicinta oleh siswa. Bukan dari verbal lontaran ketidaksukaannya dengan cinta siswa, namun dari perilaku dan prilaku guru tersebut. Guru yang hanya berkutat pada kondisi sekadar menjalankan tugasnya saja. Guru yang merasa cukup dengan kompetensinya yang tanpa perkembangan semenjak awal menjadi guru. Guru yang tidak berusaha membuat suasana kelas yang hidup, bahkan memelihara kelas yang kaku dan “angker”. Guru yang hanya selalu ingin dimengerti dan dituruti oleh siswa. Guru yang merasa profesinya sebagai guru yaitu untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan siswa. Semuanya itu merupakan perilaku dan prilaku guru yang tak mengharap cinta siswa.
Cinta siswa yang sejati kepada gurunya, bukanlah berwujud ketegangan dan kekakuan dalam mendapatkan pelajaran. Bukan pula senyum merekah dikala bertemu guru dan tatkala guru telah berlalu bermetamorfosis celoteh. Oleh alasannya yaitu itu, guru terlebih dahulu harus menyayangi siswanya dengan memunculkan segala yang disuka siswa. Cinta siswa yang sejati kepada guru, akan mengalirkan apa yang guru harapkan kepada siswa, sanggup terwujud. Keikhlasan dan kerinduan siswa mendapatkan pendidikan dan pengajaran dari guru akan berwujud keberhasilan siswa sebagai impian semua guru. Oleh alasannya yaitu itu, menjadi sangat penting menggapai kondisi dimana guru yang dicinta oleh siswa. Cinta sejati siswa akan terus dibawanya meskipun interaksi dalam proses pembelajaran dengan gurunya tidak terjadi lagi. SEKIAN.
*) Ditulis oleh MUH. SYUKUR SALMAN, Guru SD Negeri 71 Parepare
Advertisement